Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- Ketegangan politik dan ekonomi di Lebanon meningkat setelah kunjungan delegasi Kementerian Keuangan Amerika Serikat yang menuduh pemerintah Beirut “lalai menghadapi Hizbullah”. Tidak lama setelahnya, Bank Sentral Lebanon di bawah kepemimpinan Karim Saeed menyiapkan kebijakan baru yang menurunkan batas identifikasi transaksi valuta asing dari 10.000 dolar menjadi hanya 1.000 dolar — keputusan yang disebut para analis sebagai hasil tekanan langsung Washington.
Sumber-sumber politik di Beirut menyebut langkah tersebut sebagai bentuk kepatuhan terhadap tuntutan AS, yang dalam pertemuannya dengan pejabat Lebanon menegaskan perlunya pengawasan ketat terhadap arus uang dan transaksi yang dianggap terkait dengan Hizbullah.
Namun yang paling memicu kontroversi adalah laporan surat kabar al-Akhbar tentang pertemuan rahasia delegasi AS dengan sejumlah politisi Lebanon di rumah anggota parlemen Fuad Makhzoumi. Dalam pertemuan itu, anggota delegasi Amerika, Rudolph Attallah, memperingatkan bahwa “jika Lebanon terus pasif, Israel akan bertindak sendiri.”
Menanggapi pernyataan tersebut, Nadim Gemayel — anggota parlemen dari Partai Falangis dan tokoh anti-Hizbullah — dengan enteng menjawab: “Kami sudah menunggu momen ini selama 40 tahun!”
Pernyataan Gemayel tersebut dianggap sebagai dukungan terbuka terhadap kemungkinan serangan Israel ke Lebanon, sekaligus memperlihatkan kedalaman perpecahan internal politik negara itu.
Para pengamat menilai, langkah-langkah ekonomi yang diambil atas tekanan AS dan sikap sebagian elit politik pro-Tel Aviv berpotensi melemahkan kedaulatan nasional Lebanon serta memperparah krisis keuangan yang sudah menghimpit negeri itu.
Your Comment